-->

Hukum Jimat dan Keyakinan Sesat Pada Jimat

Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat diyakini sebagai pelindung (selain Kepada Allah Subhanahu wa ta'ala ) dari berbagai mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki, kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya.

Ada jimat berupa cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk, tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun bentuk-bentuk jimat lainnya baik berupa bacaan yang di tulis seperti ayat-ayat, sebab bacaan uuntuk di amalkan bukan bacaan menjadi pelindung. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus menyesatkan ini.

Hukum Jimat dan Keyakinan

Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas’alullaha assalamata wal `afiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Subhanahu wa ta'ala keselamatan dan perlindungan bukan kepada selain-Nya.

KEBINASAAN PELAKU SYIRIK

Bertauhid (mengesakan) Allah Subhanahu wa ta'ala dalam semua bentuk ibadah adalah hak Allah Subhanahu wa ta'ala yang paling agung. Dan kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Subhanahu wa ta'ala tersebut. Ancaman dan murka Allah Subhanahu wa ta'ala terhadap syirik dan pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Subhanahu wa ta'ala tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia diharamkan masuk jannah atau surga Allah Subhanahu wa ta'ala . Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا


Artinya: ''Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah (berbuat syirik) maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisa`/4 : 48]

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Artinya: ''Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`am/6: 88]

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Artinya: ''Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Maidah/5: 72]

Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah Subhanahu wata'ala di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Subhanahu wata'ala berfirman:
وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Artinya: ''Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum engkau; “Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi (diadzab)”. [Az-Zumar/39: 65]

KESYIRIKAN DALAM JIMAT

Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko, kendaraan atau selainnya.

Memakai jimat dengan berbagai jenisnya adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Subhanahu wata'ala , maka ia menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Subhanahu wata'ala.

Namun, jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka sesungguhnya dia telah menyamai Allah Subhanahu wata'ala dalam menentukan hal tersebut sebagai sebab; padahal Allah Subhanahu wata'ala tidaklah menjadikannya sebagai sebab.

Dari `Imran bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang terbuat dari tembaga di tangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya “Apa ini?”. Pria tersebut menjawab: “(aku memakainya) Karena (tertimpa) penyakit wahînah”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata “Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga kapanpun!”.

Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ulama salaf pada umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan pembelaan terhadap hak Allah Subhanahu wata'ala.

Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca firman Allah Subhanahu wata'ala :
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

Artinya: '' Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)  [Yusuf/12:106]

Sa`id bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata “Barangsiapa memotong satu jimat (tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan seorang budak”.

Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa menetapkan suatu perantara padahal Allah Subhanahu wata'ala tidak pernah sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari; maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Subhanahu wata'ala.

Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Subhanahu wata'ala ). Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.

Sedemikian benci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat, sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Sesungguhnya dia memakai tamîmah”. Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya; kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya seraya bersabda: “Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah berbuat syirik”.

Tamimah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan tertentu. Secara umum tamimah terbagi menjadi dua macam.

Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`an seperti tulang, kerang, keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu kepada selain Allah Subhanahu wata'ala.

Kedua: yang berasal dari al-Qur`an, Asma dan Sifat Allah Subhanahu wata'ala ; maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian, menurut yang kami pahami tetap tidak boleh dengan alasan bacaan atau firman Allah Subhanahu wata'ala untuk diamalkan dan cara pengamalannya jika itu bentuk do'a atau memohon perlindungan adalah dengan di baca bukan ditulis dan disimpan sebagai pelindung.

Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.

3. Jika seseorang memakai tamimah yang berisi dari al-Qur`an atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla , maka sudah barang tentu ia akan membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`an.

Ibrahim an-Nakha`i rahimahullah berkata “Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya”.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamimah dan pelet adalah syirik”. Al-Khathabi berkata “Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran. Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Subhanahu wata'ala di dalamnya, maka dibaca bukan ditulis dan disimpan di dalam tubuh dan sebagainya.

Syaikh al-Albani berkata “Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah yang tidak dipahami maknanya…”. Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-‘Asyja`i Radhiyallahu anhu berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana pendapat engkau?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan) ruqyah selama bukan kesyirikan”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, beliau juga pernah diruqyah oleh Jibril Alaihissallam. Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.

Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:

Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`an, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Subhanahu wata'ala.

Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,

Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Subhanahu wata'ala semata. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya”.

WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.

Ketika Abu Basyir al-Anshari Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata “Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong”.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya “Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya”. Bahkan Allah Subhanahu wata'ala akan membiarkan ketergantungan seseorang kepada sesuatu selain Allah Subhanahu wata'ala , dan Allah Subhanahu wata'ala akan menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan dengan kuasa dan izin Allah Subhanahu wata'ala, Rabb semesta alam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ

Artinya: ''Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan dipasrahkan kepadanya.

Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada sesuatu dan Allah Subhanahu wata'ala akan mengabaikannya.

MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH SUBHANAHU WATA'ALA

Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhId mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca, namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Artinya: ''Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fatihah/1:5]

Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba, hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Subhanahu wata'ala yang Maha segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya adalah di tangan Allah Subhanahu wata'ala..

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Artinya: ''Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`am/6:162]

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat :

((“Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu (menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena (qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdir) telah kering”)).

DOA DAN WIRID-WIRID SYAR’I TELAH DICONTOHKAN

Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Subhanahu wata'ala dalam setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari segala bentuk kesyirikan.

Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya, hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari dan petangnya.

Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam al-Qur`an maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan “memaksakan” ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam

Referensi:
Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijariyah Dar Al-Fikr Beirut Libanon. Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
Shahih Sunan an-Nasa’i, Al-Maktab al-Islami Beirut Libanon. Cet I th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i – Muhammad Nashiruddîn al-Albani.
Shahih Sunan Ibnu Majah, Al-Maktab al-Islami Beirut Libanon. Cet III th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazid al-Qazwini – Muhammad Nashiruddin al-Albani..

Berlangganan update artikel terbaru via email: